Prosedur Inspeksi Motor dan Generator

Berikut adalah prosedur inspeksi motor dan generator berdasarkan standar ANSI/NETA ATS-2009.

Inspeksi Visual dan Mekanikal

  1. Membandingkan data nameplate dengan drawing dan spesifikasi.
  2. Memeriksa kondisi fisik dan mekanikal.
  3. Memeriksa titik ikat, alignment, dan grounding.
  4. Memeriksa penyekat udara, media filter, kipas pendingin, slip ring, dan brush. Pastikan kondisinya sesuai dengan data manufaktur.
  5. Memeriksa kekencangan baut-baut koneksi kabel dengan menggunakan torque-wrench. Pastikan torsinya sesuai dengan data manufaktur.
  6. Melakukan pemeriksaan termografi jika memungkinkan. Pemeriksaan termografi dilakukan pada saaat beban diaplikasikan pada sistem. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut jika ditemukan adanya perbedaan nilai temperatur yang signifikan pada salah satu baut.
  7. Mengukur jarak air-gap dan alignment, jika memungkinkan.
  8. Memeriksa sistem lubrikasi.
  9. Memastikan rangkaian RTD (Resistance Temperature Detector) sesuai dengan drawing.
Pengukuran Insulation Resistance / Megger (Sumber: renown-electric.com)

Pengujian Elektrikal

  1. Melakukan pengkuran resistansi pada baut-baut koneksi kabel. Bandingkan nilai resistansinya dengan baut koneksi kabel yang mirip. Lakukan pemeriksaan jika nilai resistansi berbeda lebih dari 50% dari nilai resistansi terendah.
  2. Melakukan pengujian insulation-resistance menggunakan PI (Polarization Index) selama 10 menit untuk motor di atas 200 HP (150 KW), atau DAR (Dielectric Absorption Ratio) selama 1 menit untuk motor di bawah 200 HP (150 KW). Untuk generator sinkron, lakukan IR (Insulation Resistance) test pada main rotating field winding, exciter field winding, dan exciter armature winding. Nilai DAR atau PI tidak boleh kurang dari 1.0. Sedangkan nilai minimum IR (1 menit) harus dikoreksi ke 40 derajat Celcius dan menggunakan pedoman berikut:
    • Untuk winding yang diproduksi sebelum tahun 1970, IR = kV + 1
    • Untuk winding yang diproduksi setelah tahun 1970, IR = 100 MOhm.
    • Untuk motor di bawah 1 kV, IR = 5 MOhm.
  3. Untuk motor dan generator di atas 2300 Volt, lakukan DC Dielectric Withstand Voltage (Hipot) Test, dan ukur resistansi antar fasa stator. Lakukan pemeriksaan lanjutan jika ditemukan adanya deviasi nilai resistansi antar fasa lebih dari 5%.
  4. Melakukan IR (Insulation Resistance) test pada bearing untuk motor yang menggunakan insulated bearing. Bandingkan nilai IR dengan data manufaktur, atau dengan motor sejenis.
  5. Melakukan pengukuran resistansi dioda dan SCR, jika ada.
  6. Melakukan pengujian peralatan surge protection, jika ada.
  7. Melakukan pengujian motor starter. Periksa kontaktor dan relay proteksi.
  8. Mengukur resistansi rangkaian RTD.
  9. Memastikan bahwa space heater dalam kondisi baik dan berfungsi.

Klasifikasi Area Berbahaya di Fasilitas Pengolahan Migas

Fasilitas pengolahan migas termasuk ke dalam area berbahaya (hazardous area), karena bahan-bahan yang diolah di fasilitas tersebut adalah bahan-bahan yang mudah terbakar. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan peralatan secara khusus untuk digunakan di area tersebut.

Bahan Mudah Terbakar (Flammable Materials)

Bahan-bahan mudah terbakar dikelompokkan ke dalam beberapa grup menurut NFPA 70 (NEC) Article 500 (Hazardous (Classified) Locations, Classes I, II, and III, Divisions 1 and 2).

  • Grup A: Acetylene
  • Grup B: Hydrogen
  • Grup C: Ethylene
  • Grup D: Propane
  • Grup E: Combustible metal dusts (aluminum, magnesium)
  • Grup F: Combustible carbonaceous dusts (coal, carbon black, charcoal, coke dusts)
  • Grup G: Combustible agricultural dusts (flour, grain, wood, plastic, chemicals)

Kriteria Klasifikasi Area Berbahaya

Dokumen API RP 500 (Recommended Practice for Classification of Locations for Electrical Installations at Petroleum Facilities Classified as Class I, Division 1 and Division 2) membagi klasifikasi area berbahaya berdasarkan kemungkinan adanya uap atau gas mudah terbakar di area tersebut. Sumber-sumber yang memungkinkan rilis uap atau gas yang mudah terbakar antara lain vent, flange pipa, control valve, drain, seal pada pompa dan kompresor, fitting, dan seal pada floating roof.

Setelah menentukan bahwa sebuah lokasi perlu diklasifikasikan, dan menentukan bahwa uap atau gas termasuk ke dalam Grup A, B, C, atau D, maka kita bisa menentukan apakah lokasi tersebut masuk ke dalam Divisi 1 atau Divisi 2. Penentuan divisi tersebut mempertimbangkan kemungkinan rilis uap atau gas mudah terbakar bisa terjadi pada operasi normal, ataukah hanya bisa terjadi ketika terjadi kondisi abnormal.

Class I

Class I adalah lokasi dimana gas atau uap mudah terbakar mungkin ada di udara dengan jumlah yang cukup untuk menghasilkan campuran yang bisa terbakar. Lokasi Class I dibagi ke dalam divisi berikut:

  • Class I, Division 1; jika suatu lokasi memenuhi salah satu persyaratan berikut:
    • Gas atau uap mudah terbakar ada pada operasi normal
    • Gas atau uap mudah terbakar dengan konsentrasi yang cukup untuk dapat terbakar mungkin akan sering terjadi karena adanya aktivitas maintenance atau ketika ada kebocoran
    • Jika adanya kerusakan peralatan atau kesalahan proses bisa mengakibatkan terjadinya gas atau uap mudah terbakar dengan konsentrasi yang cukup untuk dapat terbakar, serta juga bisa menyebabkan kesalahan pada peralatan listrik yang bisa menjadi sumber nyala api.
  • Class I, Division 2; jika suatu lokasi memenuhi salah satu persyaratan berikut:
    • Gas atau uap mudah terbakar secara normal berada di dalam sistem atau kontainer tertutup, dimana gas tersebut dapat keluar hanya jika terjadi kerusakan pada sistem atau kontainer, atau ketika terjadi kondisi yang tidak normal
    • Gas atau uap mudah terbakar dengan konsentrasi yang cukup untuk dapat terbakar secara normal dicegah dengan ventilasi positif, dan konsentrasi tersebut dapat terjadi ketika ada kerusakan atau kondisi tidak normal pada peralatan ventilasi
    • Lokasi yang berada dekat dengan Class I Division 1 dimana terkadang ada paparan gas atau uap mudah terbakar dengan konsentrasi yang cukup untuk dapat terbakar, kecuali jika paparan tersebut dicegah dengan penggunaan ventilasi dengan tekanan positif atau dipisahkan dengan barrier.

Area Class I bisa dibagi menjadi 3 Zone, antara lain:

  • Zone 0; adalah area Class I Division 1 dimana gas atau uap mudah terbakar selalu ada atau seringkali ada dalam jangka waktu yang lama
  • Zone 1; adalah area Class I Division 1 dimana pada operasi normal, gas atau uap mudah terbakar kadang-kadang ada
  • Zone 2; adalah area Class I Division 2 dimana pada operasi normal, gas atau uap mudah terbakar tidak ada, atau ada hanya dalam waktu singkat.

Class II

Class II adalah lokasi dimana terdapat debu yang mudah terbakar, yang termasuk ke dalam Grup E, F, atau G. Lokasi Class II juga dibagi ke dalam 2 divisi:

  • Class II, Division 1; jika suatu lokasi memenuhi persyaratan berikut:
    • Debu mudah terbakar berada di udara pada kondisi operasi normal dengan jumlah yang cukup untuk dapat terbakar
    • Jika terjadinya kesalahan peralatan atau operasi yang tidak normal bisa menyebabkan terjadinya debu mudah terbakar dengan jumlah yang cukup untuk dapat terbakar, serta juga bisa menyebabkan kesalahan pada peralatan listrik yang bisa menjadi sumber nyala api
    • Jika terdapat debu mudah terbakar Grup E dalam jumlah yang cukup untuk menjadi berbahaya.
  • Class II, Division 2; jika suatu lokasi memenuhi persyaratan berikut:
    • Debu mudah terbakar dengan jumlah yang cukup untuk dapat terbakar mungkin akan terjadi pada kondisi yang tidak normal
    • Jika terdapat akumulasi debu mudah terbakar, namun jumlahnya tidak cukup untuk mengganggu operasi peralatan listrik
    • Jika akumulasi debu mudah terbakar bisa mengganggu pelepasan panas secara normal dari peralatan listrik, atau bisa terbakar ketika ada kerusakan peralatan listrik atau operasi yang tidak normal.

Class III

Class III adalah lokasi dimana terdapat material serat yang mudah terbakar, atau lokasi pengolahan atau penanganan material yang bisa menghasilkan material mudah terbakar yang beterbangan di udara, namun jumlahnya tidak cukup untuk dapat terbakar. Lokasi Class III dibagi ke dalam 2 divisi:

  • Class III, Division 1; adalah lokasi pengolahan atau penanganan material serat yang mudah terbakar, misalnya rayon, katun, dan pengolahan tekstil lainnya.
  • Class III, Division 2; adalah lokasi penyimpanan material serat yang mudah terbakar.

Unclassified

Beberapa lokasi tidak masuk ke dalam kategori area berbahaya, karena keberadaan bahan-bahan yang mudah terbakar sangat jarang terjadi di area tersebut. Lokasi unclassified misalnya lokasi dimana bahan mudah terbakar berada di dalam sistem perpipaan yang keseluruhan sambungannya dilas, tanpa adanya valve, flange atau sambungan berulir.

Pemilihan Peralatan Listrik di Fasilitas Migas

Fasilitas pengolahan migas umumnya masuk ke dalam kategori Class I Division 1 atau 2, serta area unclassified. Pemilihan peralatan listrik untuk lokasi Class I Div 1 dan 2 perlu diperhatikan sehingga gas atau uap yang mudah terbakar tidak dapat masuk ke dalam enclosure peralatan listrik yang sedang aktif, untuk mencegah potensi bahaya kebakaran.

Umumnya, digunakan enclosure explosion proof dengan seal yang mampu menahan masuknya gas ke dalamnya. Pada nameplate enclosure tersebut umumnya disertakan peruntukan enclosure tersebut, apakah digunakan untuk area Class I Division 1 atau Class I Division 2.

Enclosure Explosion Proof untuk area Class I Division 1 (Sumber: nema7.com)
Enclosure battery untuk area Class I Division 2 (Sumber: 17qq.com)

Untuk enclosure yang sering dibuka untuk maintenance, misalnya pada panel PLC, digunakan ventilasi dengan tekanan positif, dengan cara menghembuskan udara bersih ke dalam enclosure. Udara bersih juga bisa berfungsi sebagai pendingin peralatan di dalam panel, misalnya dengan menambahkan perangkat Vortex Cooler.

Vortex Cooler (Sumber: arizonavortex.com)

Kesimpulan

Lokasi kerja di lingkungan industri dikategorikan ke dalam 3 kelas berdasarkan keberadaan bahan-bahan mudah terbakar di area tersebut, dan dibagi ke dalam 2 divisi berdasarkan seberapa sering bahan-bahan mudah terbakar tersebut ada dalam konsentrasi yang cukup untuk dapat terbakar.

Fasilitas pengolahan migas umumnya dikategorikan ke dalam Class I Division 1 dan Class I Division 2, serta area Unclassified.

Peralatan listrik di industri migas memerlukan enclosure khusus yang mampu mencegah masuknya gas mudah terbakar ke dalam enclosure yang dapat memicu kebakaran.

Penggunaan Sinyal Arus 4-20 mA pada Instrumentasi di Industri

Sebuah sinyal listrik yang dihasilkan oleh perangkat instrumentasi dapat ditransmisikan dengan menggunakan arus maupun tegangan. Namun, karakteristik sinyal tegangan adalah adanya voltage drop ketika ditransmisikan pada jarak jauh. Hal ini menjadi kelemahan sinyal tegangan, dimana perbedaan sinyal tegangan yang dikirim dan yang diterima dapat menyebakan adanya kesalahan pengukuran.

Sinyal arus tidak terpengaruh dengan voltage drop ketika ditransmisikan pada jarak jauh. Sinyal arus di sisi pengirim dan penerima tidak akan berbeda, meskipun ada voltage drop ketika sinyal ditransmisikan.

Sinyal arus juga lebih linier daripada sinyal tegangan. Dengan demikian sinyal arus jauh lebih akurat daripada sinyal tegangan.

Sinyal arus menghasilkan impedansi yang lebih rendah daripada sinyal tegangan. Impedansi yang rendah ini menjadikan sinyal arus lebih tahan terhadap noise interferensi elektromagnetik atau elektrostatik dari luar.

Pada umumnya, di dunia industri kita mengenal penggunaan sinyal arus 0-20 mA atau 4-20 mA. Sinyal 4-20 mA umumnya lebih disukai karena mampu mendeteksi adanya kabel transmisi sinyal yang putus.

Jika kabel transmisi sinyal arus terputus, maka sinyal arus akan terbaca 0, dan transmitter akan mengeluarkan sinyal error. Demikian pula jika sinyal arus terbaca di atas 20 mA, maka ada kemungkinan terjadi kesalahan pada control loop, dan transmitter akan mengeluarkan sinyal error.

Sumber gambar: alliedelec.com

Sinyal arus 4-20 mA umumnya menggunakan power supply 24V yang dihubungkan secara seri di dalam control loop. Penggunaan tegangan yang rendah ini menjadikan sinyal arus cocok digunakan pada daerah berbahaya (hazardous area). Tegangan rendah ini relatif aman terhadap bahaya kesetrum maupun short circuit yang dapat memicu kebakaran.

Sinyal 4-20 mA yang dihasilkan oleh transmitter dikirimkan ke peralatan pengendali (PLC atau DCS), kemudian dikonversi menjadi nilai hasil pengukuran.

Misalkan sebuah pressure transmitter dengan range 0 – 1000 psi menghasilkan keluaran sinyal 4-20 mA, maka sinyal keluaran tersebut merepresentasikan nilai hasil pengukuran sebagai berikut:

Sinyal Arus (mA)Hasil Pengukuran (psi)Persentase Pengukuran (%)
4 00
825025
1250050
1675075
201000100

Selain menerima sinyal pengukuran dari transmitter, peralatan pengendali (PLC atau DCS) juga bisa mengendalikan berbagai macam peralatan dengan menggunakan sinyal arus. Misalkan terdapat sebuah Motorized Control Valve yang terhubung dengan PLC, maka PLC bisa mengatur bukaan control valve tersebut dengan menggunakan sinyal arus 4-20 mA. Dimana perintah 4 mA dari PLC akan direspon oleh control valve dengan bukaan valve 0% (fully closed), dan perintah 20 mA akan direspon dengan bukaan valve 100% (fully open).

Kesimpulan

Sinyal arus 4-20 mA banyak digunakan sebagai sinyal instrumentasi di dunia industri, karena memiliki berbagai keunggulan, antara lain:

  • Koneksi control loop yang sederhana, mudah dikonfigurasi
  • Dapat digunakan pada jarak jauh
  • Relatif tidak terpengaruh oleh noise elektromagnetik dan elektrostatik
  • Mampu mendeteksi berbagai macam error pada control loop

Penggunaan IR Contactless Thermometer di Industri

Infrared contactless thermometer adalah alat yang mendeteksi sinar inframerah untuk mengukur suhu suatu benda. Alat yang biasa disebut sebagai temperature gun ini digunakan oleh teknisi atau operator untuk melakukan pengukuran temperatur suatu benda tanpa perlu menyentuh benda yang akan diukur.

Cara kerja

Termometer ini mengukur suhu pada permukaan benda padat yang tidak tembus cahaya. Sensor optik pada termometer mengukur energi yang dipancarkan, dipantulkan, maupun yang dirambatkan oleh suatu benda. Energi tersebut dikumpulkan dan difokuskan ke sebuah perangkat detektor di dalam temperature gun.

Perangkat elektronik akan menerjemahkan informasi yang diterima menjadi nilai pembacaan temperatur untuk ditampilkan di display.

Umumnya, temperature gun dilengkapi dengan laser pointer, namun tidak berpengaruh terhadap nilai hasil pembacaan. Fungsinya hanya sebagai penunjuk target yang akan diukur.

Cara penggunaan

Penggunaan temperature gun cukup mudah, tinggal diarahkan ke benda yang akan diukur, kemudian tekan tombol pemicunya. Hasil pengukuran akan ditampilkan di display. Meskipun mudah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar hasil pengukuran akurat.

Rasio jarak vs luas pengukuran

Semakin jauh jarak pengukuran, semakin besar pula luasan area pengukuran. Perbandingan antara jarak ukur (D) terhadap luasan area ukur (S) berbeda-beda antar tipe temperature gun. Rasio jarak vs luas pengukuran umumnya tertulis di body alat atau di manual book.

Field of View

Semakin kecil benda yang akan diukur, diperlukan jarak pengukuran yang semakin dekat. Untuk mendapatkan hasil pengukuran yang akurat, pastikan bahwa ukuran benda yang akan diukur tidak lebih kecil daripada luasan area pengukuran.

Emisivitas

Tingkat emisivitas suatu benda menunjukkan karakteristiknya dalam memancarkan energi. Sebagian besar material organik dan permukaan yang dicat atau yang sudah teroksidasi umumnya memiliki nilai emisivitas 0.95.

Umumnya temperature gun menggunakan standar emisivitas 0.95. Pengukuran benda dengan tingkat emisivitas yang berbeda bisa menghasilkan nilai pengukuran yang tidak akurat.

Untuk mengakalinya, gunakan cat hitam atau isolasi/lakban pada permukaan benda yang akan diukur. Biarkan beberapa saat agar panas merambat ke lakban, sehingga temperatur lakban sama dengan temperatur benda yang ditempel. Kemudian, ukur temperatur lakban dengan temperature gun.

Perbedaan Akurasi dan Presisi

Dalam pengukuran sebuah parameter listrik atau instrumentasi, kita akan dihadapkan pada hasil pengukuran dengan angka yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika kita mengukur nilai resistansi sebuah resistor bernilai 220 Ohm, setelah dilakukan lima kali pengukuran, kita mendapatkan hasil sebagai berikut:

Pengukuran ke:Hasil Pengukuran
1215 Ohm
2222 Ohm
3220 Ohm
4231 Ohm
5218 Ohm

Bagaimana kita bisa memastikan bahwa pengukuran yang kita lakukan akurat dan presisi? Apakah perbedaan antara akurasi dan presisi?

Pengertian Akurasi dan Presisi

Akurasi dapat didefinisikan sebagai seberapa dekat sebuah nilai pengukuran dengan nilai sesungguhnya.

Sedangkan presisi adalah seberapa dekat perbedaan nilai pada saat dilakukan pengulangan pengukuran.

Analogi yang bisa kita gunakan adalah ketika kita beberapa kali naik pesawat terbang dengan jadwal yang sama. Misalnya sebuah pesawat terbang dijadwalkan berangkat pukul 10.00 setiap hari. Hari ini, pesawat berangkat tepat pukul 10.00, maka bisa kita katakan bahwa waktu keberangkatan pesawat tersebut akurat.

Namun, dalam satu minggu terakhir, pesawat terbang ini selalu berangkat pada pukul 10.30 meskipun pesawat ini dijadwalkan berangkat pada pukul 10.00. Karena keterlambatan pesawat ini berulang selama satu minggu, dan selalu pada jam yang sama, maka bisa kita katakan bahwa waktu keberangkatan pesawat tersebut selama seminggu terakhir adalah presisi, namun tidak akurat.

Jika pada satu minggu berikutnya pesawat terbang ini berangkat pada pukul 10.15, 10.30, 09.45, 10.20, 11.00, 10.05, dan 10.15, maka bisa kita katakan bahwa waktu keberangkatan pesawat ini tidak presisi dan tidak akurat.

Presisi dan akurasi bisa kita gambarkan sebagai berikut.

Sekarang kita ambil contoh pengukuran sebuah resistor dengan resistansi 220 Ohm. Jika Ohm meter yang kita gunakan memiliki akurasi 1 Ohm, maka hasil pengukuran kita bisa disebut akurat jika berada di dalam rentang 219 – 221 Ohm.

Jika hasil pengukuran kita adalah 219.5, 219, 220, 221, 220.5, maka hasil pengukuran kita bisa dikatakan akurat, tetapi tidak presisi.

Jika hasil pengukuran kita adalah 221.5, 221.5, 221.6, 221.5, 221.6, maka hasil pengukuran kita bisa dikatakan presisi, tetapi tidak akurat.

Jika hasil pengukuran kita adalah 230, 218, 225.5, 215, 222, maka hasil pengukuran kita tidak akurat dan tidak presisi.

Jika hasil pengukuran kita adalah 220, 220, 220.2, 219.9, 219.8, maka hasil pengukuran kita bisa dikatakan akurat dan presisi.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  • Akurasi adalah kedekatan nilai hasil pengukuran dengan nilai sesungguhnya, sedangkan presisi adalah kedekatan nilai pada saat dilakukan pengulangan pengukuran.
  • Hasil pengukuran bisa akurat dan presisi, bisa juga akurat tetapi tidak presisi, tidak akurat tetapi presisi, maupun tidak akurat dan tidak presisi.
  • Akurasi bisa ditentukan dengan satu kali pengukuran saja, sedangkan kepresisian memerlukan beberapa kali pengukuran.
  • Akurasi ditentukan oleh alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran, sedangkan presisi ditentukan oleh beragam faktor.
  • Nilai hasil pengukuran yang akurat biasanya diikuti dengan kepresisian, sedangkan nilai yang presisi belum tentu akurat.
  • Akurasi berhubungan dengan derajat kecocokan, sedangkan presisi berhubungan dengan derajat reprodusibilitas.