Membangun Mood

mood
Mood (sumber: floreatchiropractic.com)

Saya sebenarnya adalah orang yang pemalas. Mode default saya adalah malas, dan untuk dapat menjalani hari secara produktif, saya membutuhkan kondisi mental yang bisa diajak bekerja secara bersemangat.

Jika tidak berupaya membangun mood, maka yang terjadi adalah seharian saya akan bermalas-malasan dan tidak melakukan kegiatan apapun yang berguna. Dan di sore harinya akan muncul rasa penyesalan karena sudah membuang waktu dengan sia-sia.

Berikut ini beberapa tips yang saya lakukan setiap hari untuk membangun mood. Semoga tips ini berguna juga untuk Anda.

Mandi

Untuk membangkitkan semangat dalam bekerja, mandi adalah hal yang wajib bagi saya. Menjalani hari dalam kondisi belum mandi hanya akan membuat saya mengantuk, malas dan tidak fokus.

Bekerja dengan kondisi badan yang bersih dan segar akan membangkitkan semangat dan bekerja pun menjadi lebih fokus.

Pakaian yang tepat

Pemilihan pakaian juga berpengaruh terhadap kondisi mental. Ketika menggunakan celana panjang dan pakaian berkerah, berarti saya sedang dalam mode bekerja. Di malam hari, saya menggunakan kaos tanpa kerah dan celana pendek, yang artinya saya sedang dalam mode santai.

Memaksakan diri bekerja tanpa menggunakan pakaian yang tepat hanya akan membuat saya menjadi semakin malas, dan biasanya berakhir dengan nonton film atau browsing-browsing website yang tidak jelas.

Housekeeping

Kebersihan dan kerapian area kerja juga sangat berpengaruh terhadap kondisi mental saya. Jika area kerja dalam kondisi kotor dan tidak rapi, saya akan merasa sangat malas untuk bekerja. Saya bisa menghabiskan waktu pagi untuk merapikan area kerja sebelum bisa mendapatkan mood untuk bekerja secara produktif.

Kopi

Kopi adalah suatu cairan “mood booster” yang sangat efektif untuk membangkitkan semangat kerja saya. Saya biasa membuat satu shot kopi espresso di pagi hari, dan menyeruputnya sedikit demi sedikit sepanjang hari sambil bekerja. Jika bosan dengan espresso, saya membuat kopi tubruk Kapal Api, tapi biasanya kopi tubruk akan lebih cepat habis dan mood yang saya dapatkan tidak sebesar kopi espresso.

Singletasking: Get More Done – One Thing at a Time

Di dalam buku ini, Devora Zack mengkritik orang-orang yang merasa “modern”, yang sudah menjadi kebiasaan untuk melakukan pekerjaan secara tidak fokus.

Setelah membahas kekurangan-kekurangan bekerja secara multitasking, buku ini kemudian menjelaskan kelebihan-kelebihan bekerja secara singletasking daripada multitasking.

singletasking
Buku Singletasking. (Sumber: nikkijefford.com)

Buku ini tidak banyak mengajarkan langkah-langkah konkrit untuk menjadi seorang master singletasking, karena memang untuk bisa menguasai teknik singletasking, yaa…. harus langsung praktik bekerja secara singletasking 🙂

Bekerja secara singletasking bukan berarti kita harus menyelesaikan satu proyek, baru boleh berpindah ke proyek berikutnya. Kita hanya perlu mengalokasikan waktu yang kita miliki saat ini untuk fokus pada satu task yang ingin kita kerjakan, dan mengabaikan gangguan-gangguan yang mungkin menghampiri kita.

Gangguan yang paling sering kita jumpai datang dari smartphone kita. Notifikasi Facebook, Whatsapp, email, telepon dari rekan kerja, berita-berita terbaru, semuanya dapat mengganggu konsentrasi kita. Jika kita sudah mengalokasikan waktu untuk mengerjakan sebuah task, maka kita tidak boleh terganggu dengan hal-hal tersebut.

Pesan-pesan yang datang ke smartphone kita tidak harus kita balas saat itu juga. Telepon yang masuk, jika tidak begitu penting, tidak harus kita layani saat itu juga. Kita bisa memberitahu si penelepon bahwa kita sedang sibuk, dan dia bisa menelepon lagi pada jam yang telah kita tentukan.

Saya termasuk orang yang merasa dikritik oleh buku ini. Saya adalah orang yang tidak sabaran, selalu ingin dapat mengerjakan banyak hal dalam satu waktu. Ketika sedang mengerjakan satu pekerjaan, terkadang muncul ide yang saya rasa bagus untuk dilaksanakan. Dan beberapa menit kemudian, saya sudah mulai sibuk untuk mengerjakan ide tersebut. Apa hasilnya? Pekerjaan sebelumnya menjadi terbengkalai, dan ide baru yang saya kerjakan pun juga tidak selesai karena saya kemudian sibuk mengerjakan ide-ide berikutnya 😦

Untuk distraction berupa ide ini, jika kita abaikan, maka kita akan lupa padahal ada kemungkinan ide itu ide yang bagus yang harus kita laksanakan. Agar ide yang muncul tidak mengganggu konsentrasi kita, buku ini menyarankan untuk segera mencatat ide tersebut di tempat yang kita percayai (di buku catatan, note pada smartphone, atau di telapak tangan), untuk nanti kita review jika task yang kita kerjakan telah selesai.

Sedikit demi sedikit saya mencoba mempraktikkan singletasking. Dari hal yang kecil, seperti menjauhkan smartphone ketika sedang makan siang atau ketika mengobrol dengan orang lain, menonaktifkan notifikasi-notifikasi yang tidak penting, dan mencatat ide yang tiba-tiba muncul.

Sejauh ini saya merasa nyaman dengan bekerja secara singletasking, walaupun terkadang saya tidak dapat menahan godaan untuk memegang smartphone. Bekerja secara lebih fokus akan memberikan hasil yang lebih berkualitas.

Saran-saran yang ada pada buku ini cukup dapat membantu saya untuk lebih fokus dalam bekerja. Oleh karena itu saya memberikan nilai 3 dari 5 bintang untuk buku ini.

star-fullstar-fullstar-fullstar-nonestar-none

Memilih Kegiatan yang Akan Dilakukan

Sistem GTD tidak menggunakan perencanaan harian. Di dalam satu hari, kita mungkin bisa berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lain, bisa bertemu dengan orang-orang yang mungkin tidak kita rencanakan sebelumnya, bisa mengerjakan beberapa proyek yang berbeda dalam satu hari… Perencanaan harian tidak bisa mengakomodasi hal-hal yang semakin kompleks.

Dalam memilih kegiatan apa yang akan kita lakukan pada saat ini, sistem GTD menggunakan 4 kriteria:

  1. Konteks
  2. Ketersediaan waktu
  3. Ketersediaan energi
  4. Prioritas

Konteks

Dewasa ini orang semakin mobile, bekerja secara berpindah-pindah dan bertemu banyak orang baik secara langsung maupun melalui alat telekomunikasi.

Pengelompokan tugas berdasarkan konteks akan memudahkan kita dalam memilih tindakan yang akan kita lakukan pada suatu waktu.

Sebagai contoh, ketika kita berada di dekat pesawat telepon, kita akan memilih tugas-tugas yang ada hubungannya dengan telepon. Ketika berada di depan komputer, kita akan melakukan kegiatan misalnya menyelesaikan laporan, mempelajari artikel di Internet, dan sebagainya.

Ketersediaan waktu

Setelah kita menemukan tugas-tugas dengan konteks yang tepat, maka kita perlu bertanya, apakah waktu yang kita miliki mencukupi untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Melakukan pekerjaan yang sudah pasti tidak dapat diselesaikan, malah akan menimbulkan stres, sebaiknya kita memilih tugas-tugas yang memang benar-benar dapat kita selesaikan.

Ketersediaan energi

Kondisi fisik sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pekerjaan yang akan kita laksanakan. Ketika kita sedang merasa lelah, sebaiknya kita tidak memilih tugas-tugas yang memerlukan aktivitas fisik yang berat.

Demikian pula ketika pikiran sedang sumpek, lebih baik kita memilih tugas-tugas yang ringan dan menyenangkan.

Prioritas

Kriteria yang terakhir yang harus kita pikirkan adalah skala prioritas. Kita tentu akan mendahulukan tugas-tugas yang mendesak, walaupun tugas tersebut terasa tidak menyenangkan, daripada tugas-tugas yang lebih menyenangkan namun tidak harus dilaksanakan saat itu juga.

“Proyek” Dalam Sistem GTD

Getting Things Done by David Allen.
Getting Things Done by David Allen.

Dalam bukunya, David Allen mendefinisikan proyek sebagai hasil yang diinginkan yang membutuhkan lebih dari satu tindakan untuk mewujudkannya.

Pengertian ini jauh berbeda dengan yang selama ini saya ketahui. Proyek dalam pikiran saya adalah seperti proyek pembangunan jalan, proyek pembuatan alat elektronika, proyek pengembangan perangkat lunak… dengan kata lain proyek adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan effort tinggi.

Dalam sistem GTD, semua pekerjaan yang membutuhkan lebih dari satu tindakan bisa disebut sebagai proyek. Dengan demikian, pekerjaan mengganti baterai senter pun juga bisa dikategorikan sebagai proyek, karena ada dua tindakan yang harus dilakukan: membeli baterai yang baru, kemudian memasangnya ke dalam senter.

Kita tidak bisa mengerjakan sebuah proyek. Yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan langkah-langkah atau tindakan di dalam proyek tersebut. Keberhasilan proyek akan tercapai bila kita telah selesai mengerjakan semua langkah di dalam proyek tersebut.

Untuk mencapai kondisi “mind like water”, kondisi ketenangan jiwa, dimana kita merasa paham betul dengan rencana-rencana kita, maka kita harus memiliki gambaran secara detail langkah apa saja yang harus kita lakukan untuk meraih hasil yang kita inginkan, dan bagaimana rasanya jika tujuan itu telah tercapai. Kemudian kita menulis daftar langkah yang harus kita lakukan sebagai panduan kita dalam mewujudkan tujuan tersebut.

Langkah-langkah atau tindakan dalam suatu proyek tidak harus ditulis secara berurutan, tetapi kita perlu mengelompokkannya berdasarkan konteks. Dalam merencanakan tindakan apa yang kita pilih untuk dilaksanakan saat ini, kita melihat berdasarkan konteks tindakan tersebut. Misalnya ketika kita sedang berada di dekat telepon, kita akan memilih tugas-tugas yang berhubungan dengan menelepon.

Walaupun demikian, ada juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan secara berurutan. Untuk itu dalam merencanakan tindakan yang akan kita lakukan, kita harus selalu mengacu pada tujuan, untuk apa kita melakukan suatu tindakan. Maka kembali lagi, sangatlah penting untuk memiliki secara detail tindakan-tindakan yang akan kita lakukan dalam proyek kita.